Jumat, 24 April 2009

Membincangkan Film


Membincangkan film berarti menutur ulang

cerita audio-visual. Berusaha mengurai hikmah

atau memperoleh makna dengan mengenali setiap sisi

tanda yang disuguhkan olehnya

melalui gambar bergerak dalam bentuk rekaman



BEBERAPA BULAN terakhir ini, film mengisi percakapan teman-teman saya disetiap pertemuan di manapun. Gaungnya begitu kuat sampai menghiasi kanvas diskusi para pemerhati pendidikan. Menjadi tema perbincangan para aktivis kemanusiaan. Menciptakan semacam skenario bagi mahasiswa dalam mempersepsi realitas. Memperkaya literatur para peneliti. Menghipnotis penikmatnya. Mengusir kesepian anak-anak modern yang hedonis. Sampai menciptakan trend, fashion, life style dikalangan anak-anak muda yang gaul dan funky.


Membincangkan film, memang selalu saja menarik. Begitu menariknya film, ia senantiasa hadir di manapun kita berada – di kampus, di pasar/sospol, di café, di warnet, di mana saja. Mendengung di kuping kita. Membayangi pikiran nyentrik kita. Seolah dimana kita menghadap di situ orang-orang membincangkan film.


Selain itu, kepada kita, film menawarkan kisah yang sarat akan makna (meaning full). Kisah yang merangkum keragaman makna (meaning multiplicity) menjadi kesatuan warna-warni nan indah dalam pencitraan audio-visual. Ramuan citra yang memicu kecerdasan imajinatif yang tanpa tapal batas.


Namun dibalik kecerdasan imajinasi yang ia lejitkan, film melahirkan ambiguitas (ambiguity) yakni menciptakan kecemasan atau meneguhkan pendirian, melahirkan ketakutan atau mengilhami semangat hidup, memotivasi kekerasan tanpa belas atau mengaktualkan empatik tanpa batas, menghilangkan jejak spiritual atau menumbuhkan kesadaran kolektif (collective consciousness).


Karena itu, film laksana pisau bermata dua, inspiratif tapi ganjil dan membingungkan. Inspiratif: karena film dipelajari sebagai seni yang menggugah, menggerakkan hingga membingkai presepsi kita, melahirkan stereotype, dan memproduksi makna. Menjadi ganjil dan membingungkan: karena film dikutuk sebagai industri budaya yang membawa kita hanyut dalam samudra ilusi. Tenggelam dalam lautan kegamangan dunia maya.


Begitu banyak orang memandang film dengan pandangan poisitif yang menghidupkan. Film dipuja, disanjung dan dieluk-elukkan sebagai idola oleh umatnya. Tapi, tidak sedikit pula orang mengecam dan mencemoohkannya. Ia dituding sebagai penyebab gangguan mental (mental disorder) yang diderita masyarakat. Melahirkan sejumlah perilaku menyimpang (deviant) pada anak-anak.


Mungkin masih tergiang di benak kita tentang pemberitaan media atas anak-anak yang dengan gagah berani men-smack down adik dan teman-teman sebayanya hingga leher dan bagian tubuh lainnya patah selepas menonton film Smack Down. Atau remaja belia yang memilih mengakhiri hidupnya dengan gantung diri usai menyimak berita serupa. Atau sang Ayah yang tega menghamili anak kandungnya sendiri karena tak kuasa menahan hasrat libido seksualnya setelah menikmati tontonan yang serba terbuka dari ‘sabang sampai merauke’.


Tapi tentu saja kita juga masih ingat kisah seorang ibu paruh baya yang mendidik anaknya dengan penuh kasih. Memanjakannya dengan bahasa cinta. Memperlakukan dia laksana seorang pemimpin besar sebuah negara. Berbicara padanya seolah berbicara kepada orang besar yang kecil. Ketika ibu itu ditanya, apa gerangan yang menjadikan dia begitu cinta kepada anaknya. “Selain anak itu anugrah Tuhan dan darah daging saya, saya pernah menyaksikan sebuah film drama yang bercerita tentang seorang ayah yang ditinggal pergi oleh istrinya. Dia memanjakan anaknya begitu sangat. Dia harus menyewa seorang pengacara untuk mempertahankan dan menyakinkan kepada negara akan hak asuh anaknya. Padahal dia penderita autis”, tuturnya sedih. “Dan dahsyatnya lagi dia mampu menyediakan segala fasilitas buat anaknya hanya degan bekerja sebagai pelayan restoran”, lanjutnya. “Saya tersentuh oleh film itu. Judul film itu “I am Sam”.


Saya juga tidak mungkin lupa cerita tentang seorang suami yang mendidik istrinya yang manja dengan sabar dan penuh toleransi karena tersentuh film Panted Veil. Lelaki macho yang memperlakukan istrinya secara hormat setelah menyaksikan Ip Man. Pemuda yang mengalami epifani: mengubah pandangan dan presepsinya tentang wanita dan cinta setelah menonton Baran. Seorang anak yang memandang dunia penuh cinta dan keadilan usai menyaksikan Life is Beautiful (La Vita É Bella). Dan masih banyak lagi fenomena serupa.


Wal hasil, film tidak saja membangun mitos di tengah kehidupan bermasyarakat tapi ia juga merepresentasikan kenyataan sosial. Bukan hanya mendistorsi realitas tapi pada saat yang bersamaan ia mengkonstruksi kenyataan. Film juga mempertontonkan realitas walaupun dibalik itu ia menciptakan dunia yang tidak punya rujukan di alam nyata, dunia simulasi. Sebuah dunia yang dilumuri oleh polesan tanda dan citra untuk ‘membunuh realitas’ dan kebenaran, sehingga kebenaran terkubur dibalik keterpanaan dan keterpesonaan kita akan citra.


Ditengah terpaan media dengan berbagai macam tontonan: vulgar, horor, teror, pembantaian dan bentuk kekerasan (violence) lainnya, kita seolah digiring kedalam sebuah lorong gelap kegalauan dan turbulensi psikis, yang diakibatkan oleh menyatunya antara kebenaran dan kepalsuan, kenyataan dan fantasi, realitas dan citra di dalam tubuh film itu sendiri yang kebenarannya tidak dapat lagi dicerna dengan logika sederhana.


Maka, menjadi wajib bagi kita untuk melakukan studi film. Studi khusus yang membincangkan film sebagai salah satu media informasi. Studi yang didasarkan pada kritisisme yang mencerahkan. Kajian yang tidak saja ditujukan untuk membongkar borok-borok dalam dirinya, menetralisir virus yang disebarkannya. Akan tetapi kita juga berusaha mengungkapkan makna di balik citra yang ditampakkannya, menyebarkan untaian hikmah yang terkandung di dalamnya, lalu mendiskusikannya pada satu kesempatan yang memungkinkan kita untuk bertemu. Agar film tidak menjadi kanalisasi desakan hasarta semata-mata.


Saya percaya bahwa film bukanlah sekedar eskapisme (pelarian) atas ketidak mampuan kita menjawab problem kehidupan, film juga merupakan tontonan unik, menarik dan mencerahkan. Juga bukan sekedar hiburan pengusir kesepian. Lebih dari itu, film adalah buku yang diaudio-visualkan. Buku (tetapi bukan face book) yang menjadi jendela dunia. Jendela yang membentangkan hamparan kenyataan tentang dunia lain yang boleh jadi belum pernah terjamah oleh anda. Kehadirannya menjadi ‘kitab suci’ yang menunjukkan kepada anda tanda-tanda kebenaran di seluruh penjuru alam dan pada diri anda sendiri.(*)

Sabtu, 18 April 2009

The Pirates of Maktim; Nomadisme ‘Bahtera’ HMI dan Kegilaan ‘Ritual’

(Tulisan ini hanyalah bentuk ekspresi sekaligus respon atas kegundahan dan keresahan adik-adik HMI atas atmosfir perpolitikan HMI-Maktim menjelang penyelenggaraan KONVECAB yang lalu. Keprihatinan itu begitu membekas dan memengaruhi saya atas apa yang terjadi hingga melahirkan coretan tak bermakna ini. Dan saya ingin membagi sedikit kegundahan itu dengan Anda.)



“Permainan tanda menentukan tempat berlabuhnya kekuasaan.”


Michel Foucault

Discipline and Punish,

Dalam Transpolitika, Yasraf A. Piliang, hlm. 107.


“Ketika orang kesanyangan itu mati,

seluruh umat manusia pun mati,

seluruh makhluk sejenak terdiam dan kelabu”.


Gibran

Yesus Sang Anak Manusia,

Bentang, 1998, hlm. 226.




PERSIS seperti cerita dalam film The Pirates of Caribian yang dipenuhi adegan misteri dan kekerasan, kini BAHTERA yang kita sedang tumpangi yang sudah jauh pesiar di tengah samudra “MAKASSAR TIMUR” yang tanpa tapal batas tiba-tiba dibajak oleh sekelompok pembajak dari Disneyland (negeri antah berantah). Black Pearl HMI Maktim – begitu kapal itu kunamai – kini sedang berhenti bukan atas perintah Sang Kapten. Juga bukan karena kehabisan minyak. Ia berhenti karena the moving machine telah aus karena uzur. Kapten ‘Job Separuh’ dipaksa untuk segera turun tahta (kalau tidak naik tahta).

Anehnya, kita menyambut pembajakaan itu dengan wajah riang penuh nafsu. Kita bahkan tak menunjukkan sedikit pun rasa gundah. Malah dengan segera (setelah sekian kali di undur) menggelar “makan malam” KONFERCAB yang meriah dengan pelayanan yang se-instan mungkin. Sebuah ritual pemilihan pemimpin yang sarat akan kehendak berkuasa dan gejolak hasrat. Sebuah ritual yang kehilangan sakralisasinya dari dirinya sendiri. Betapa pembajak yang berhati bengis berwajah garang itu mengambil semua kapal yang direbutnya lalu dia tinggalkan menjadi seonnggok sampah setelah segala isinya dikerok habis. Layaknya kultur ke-senioritas-an HMI yang tidak mengenal kata ‘henti’ untuk selalu campur tangan dalam segala proyek ritual lalu cuci tangan jika proyek itu tidak mendatangkan profit-individual lagi.

The moving machine tidaklah di-persona-non grata-kan dari kapal yang dikomandokannya. Atau disimpan di sudut gelap dek kapal sebagai hiasan antik, ia mungkin dikondisikan untuk bermutasi dari satu bahtera ke bahtera yang lain. Dari Black Pearl HMI Maktim ke Green Pearl PB HMI Jakarta. Tapi satu hal yang pasti bahwa Black Pearl HMI Maktim akan diambil alih oleh ‘the otherness’. Inilah apa yang saya sebut ‘Nomadisme’. Ada metamorfosis agen politik tanpa henti yang digerakkan oleh semacam mental nomad yang inkonsistensi. Memproduksi ketidak puasan hingga idealisme menjadi semacam pakaian yang dengan mudah ditukar, identitas dapat ditukar dengan sebuah kekuasaan, keyakinan dengan sebuah kursi. Sadis memang tapi nyata dan dilakoni oleh kita yang konon paham NDP.

Seakan ada perebutan kekuasaan untuk mengobati kekecewaan sang Kapten Job Separuh tempo doloe yang kini menjadi ‘Goliath’ dalam bentuknya yang monster yang mungkin dulu tak sengaja tersungkur akibat tersingkir dari panggung sandiwara politik citra sampai proses persalinan pun diperlambat dengan menciptakan hororisme politik yang berwajah teror.


Kita tidak hendak mempercepat nomadisme agen politik tapi lebih pada tindak politik yang telah menggiring kita ke arah imoralisme politik, yaitu politik yang dibangun di atas sikap dan perilaku tanpa rasa malu dan etika yang berlandaskan hasrat dan kehendak kuasa tak terkendali yang di dalamnya tidak ada kepedulian untuk menciptakan politik yang berkualitas, mencerdaskan dan mencerahkan. Dalam petualangan tanpa henti ini, kita – seperti dalam film – memendam harap untuk berlabuh di sebuah ‘pulau pencerahan’ (ingat tujuan HMI) yang didongengkan para leluhur kepada kita.


Jika tidak menjadi David yang memotong tangan dan menyingkirkan hegemoni buntut Goliath, paling tidak kita tidak menjadi kaki tangan warisan ‘pejabat’ tempo doloe. Kita harus mampu melepaskan diri dari cengkraman imperialisme Homo Orbaicus. Tidak dengan Kapten Job Separuh pilihan pemirsa. Tidak juga dengan pengetahuan teoritis NDP. Apalagi deal-deal politik yang dibangun atas dasar kesamaan ideologi-citra yang justru mengacaukan makna ideologi menjadi idiot-ologi. Mungkin hanya extra ordinary human capabilities (jangan tanya apa artinya): loyalitas, integritas, progresifitas, kreatifitas dan sifat inofatif seorang David – sang Nabi yang merdeka, bukan lembu dungu yang hidung dan pikirannya dikendalikan – plus pengetahuan teoritis NDP yang mendalam sebagai substansi perjuangan yang akan melepaskan kita dari jeratan kabut tebal mesiu yang ditembakkan pembajak ke bahtera kita. Begitu tebalnya kabut itu sampai kita pun bahkan tak dapat bisa berpikir merdeka.

“Kegilaan telah memenjarakan manusia dalam sifat kebinatangan

…mengembara melampaui setiap fantasi: kekerasaan,

bercak darah, kematian.”


Julia Kristeva

Powers of Horror. An Essay on Abjection,

Dalam Transpolitika, Yasraf A. Piliang, hml. 74.


“Adakah engkau lihat orang-orang

yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya

dan Allah membiarkannya sesat

karena mengetahui kejahatan hatinya”.


Al-quran

Al-quran, surah Al Jaatsiyah, ayat 23.



SEPERTINYA kali ini, kita masih berharap (seperti kali-kali sebelumnya dan mungkin selanjutnya) ada ‘boneka robot baru’ untuk menentukan – tepatnya memenuhi orderan sutradara senior tua yang belum juga “mati” – rute perjalanan intelektual yang melelahkan. Tapi kecemasan menghantui jangan sampai boneka itu lahir bukan dari janin yang dikandung oleh kelompok kita yang katanya lagi hamil tua. Saya khawatir kita sedang mengidap skizoprenia (kegilaan hasrat), menganggap kelompok kita tengah hamil tua. Padahal, boro-boro melahirkan, hamil pun mungkin tidak.


Lihat saja bagaimana kepanikan para pembajak senior itu diumbar. Bukan untuk diketahui tapi untuk menciptakan kepanikan baru ditengah bahtera yang disesaki oleh hiruk-pikuk ‘kegilaan ritual’. Nahkoda dengan panggilan ‘dinda’ pun di obok-obok hingga mabuk dengan bisa (racun) ke-senioritas-an dan duri genggaman kesamaan ideologi (hampir saya menyebut ‘idiot-ologi) yang usang. Anehnya, kedua amunisi karatan itu ternyata masih mampan untuk sekedar merobek jantung si ‘idiot-ologi’ kayak kita. Lainnya yang memilliki sistem kekabalan tubuh (body immune system) menggeliat ingin melepaskan diri dari genggaman Goliath Tengik. Walau tak mabuk tapi genggaman dengan kemasan (packaging) ‘persamaan ideologi’ – yang ternyata duri – itu begitu kuat. Semakin mereka mencoba melepaskan diri semakin dalam duri itu menyobekkan tubuh mereka.


Sadarlah kawan! Sudah begitu lama kita tersekap dalam penjara permainan kita sendiri, entah kita cintai atau tidak. Marilah kita gali lubang dan kabur lalu putuskan mata-rantai hegemoni horor politik warisan senior yang telah bermutasi dan menjangkiti semua orang hingga yang tidak sakit pun tampak sakit.


Bukankah kita sudah terlalu sering menelan pil ‘pahit analgesik’ atas epidemik kekecewaan yang ditorehkan oleh kegagalan di arena ‘makan malam’ KONVERCAB yang kita gelar sendiri? Saatnya kita melakukan detoksifikasi (menjinakkan racun) – saya harap itu anda kawan – untuk menghapuskan budaya politik ke-senioritas-an dan kecanduan ‘drugs’ yang ditularkan kepada kita – generasi muda HMI – yang hampir mengantarkan kita ke liang lahat.


Untuk itu, kita mesti mengambil peran, meskipun figuran tapi kita harus mainkan untuk menentukan apa yang semestinya, sebab film politik yang disuguhkan kepada kita dipenuhi dengan adegan kekerasan yang bakal jadi teror bagi kita dan bagi generasi setelah kita. Mesti ada pembengkokkan politik untuk melepaskan diri dari perbudakkan pemikiran dan menciptakan atmosfir bebas senior. Jika tidak, kita akhirnya hanyalah pion yang bakal jadi tumbal yang akan dipersembahkan di altar ‘drakula’ senioritas yang tenggelam oleh darah ‘pendahulu kita’. Kita menyebut ini sebagai kegilaan ritual.[*]