Sabtu, 18 April 2009

The Pirates of Maktim; Nomadisme ‘Bahtera’ HMI dan Kegilaan ‘Ritual’

(Tulisan ini hanyalah bentuk ekspresi sekaligus respon atas kegundahan dan keresahan adik-adik HMI atas atmosfir perpolitikan HMI-Maktim menjelang penyelenggaraan KONVECAB yang lalu. Keprihatinan itu begitu membekas dan memengaruhi saya atas apa yang terjadi hingga melahirkan coretan tak bermakna ini. Dan saya ingin membagi sedikit kegundahan itu dengan Anda.)



“Permainan tanda menentukan tempat berlabuhnya kekuasaan.”


Michel Foucault

Discipline and Punish,

Dalam Transpolitika, Yasraf A. Piliang, hlm. 107.


“Ketika orang kesanyangan itu mati,

seluruh umat manusia pun mati,

seluruh makhluk sejenak terdiam dan kelabu”.


Gibran

Yesus Sang Anak Manusia,

Bentang, 1998, hlm. 226.




PERSIS seperti cerita dalam film The Pirates of Caribian yang dipenuhi adegan misteri dan kekerasan, kini BAHTERA yang kita sedang tumpangi yang sudah jauh pesiar di tengah samudra “MAKASSAR TIMUR” yang tanpa tapal batas tiba-tiba dibajak oleh sekelompok pembajak dari Disneyland (negeri antah berantah). Black Pearl HMI Maktim – begitu kapal itu kunamai – kini sedang berhenti bukan atas perintah Sang Kapten. Juga bukan karena kehabisan minyak. Ia berhenti karena the moving machine telah aus karena uzur. Kapten ‘Job Separuh’ dipaksa untuk segera turun tahta (kalau tidak naik tahta).

Anehnya, kita menyambut pembajakaan itu dengan wajah riang penuh nafsu. Kita bahkan tak menunjukkan sedikit pun rasa gundah. Malah dengan segera (setelah sekian kali di undur) menggelar “makan malam” KONFERCAB yang meriah dengan pelayanan yang se-instan mungkin. Sebuah ritual pemilihan pemimpin yang sarat akan kehendak berkuasa dan gejolak hasrat. Sebuah ritual yang kehilangan sakralisasinya dari dirinya sendiri. Betapa pembajak yang berhati bengis berwajah garang itu mengambil semua kapal yang direbutnya lalu dia tinggalkan menjadi seonnggok sampah setelah segala isinya dikerok habis. Layaknya kultur ke-senioritas-an HMI yang tidak mengenal kata ‘henti’ untuk selalu campur tangan dalam segala proyek ritual lalu cuci tangan jika proyek itu tidak mendatangkan profit-individual lagi.

The moving machine tidaklah di-persona-non grata-kan dari kapal yang dikomandokannya. Atau disimpan di sudut gelap dek kapal sebagai hiasan antik, ia mungkin dikondisikan untuk bermutasi dari satu bahtera ke bahtera yang lain. Dari Black Pearl HMI Maktim ke Green Pearl PB HMI Jakarta. Tapi satu hal yang pasti bahwa Black Pearl HMI Maktim akan diambil alih oleh ‘the otherness’. Inilah apa yang saya sebut ‘Nomadisme’. Ada metamorfosis agen politik tanpa henti yang digerakkan oleh semacam mental nomad yang inkonsistensi. Memproduksi ketidak puasan hingga idealisme menjadi semacam pakaian yang dengan mudah ditukar, identitas dapat ditukar dengan sebuah kekuasaan, keyakinan dengan sebuah kursi. Sadis memang tapi nyata dan dilakoni oleh kita yang konon paham NDP.

Seakan ada perebutan kekuasaan untuk mengobati kekecewaan sang Kapten Job Separuh tempo doloe yang kini menjadi ‘Goliath’ dalam bentuknya yang monster yang mungkin dulu tak sengaja tersungkur akibat tersingkir dari panggung sandiwara politik citra sampai proses persalinan pun diperlambat dengan menciptakan hororisme politik yang berwajah teror.


Kita tidak hendak mempercepat nomadisme agen politik tapi lebih pada tindak politik yang telah menggiring kita ke arah imoralisme politik, yaitu politik yang dibangun di atas sikap dan perilaku tanpa rasa malu dan etika yang berlandaskan hasrat dan kehendak kuasa tak terkendali yang di dalamnya tidak ada kepedulian untuk menciptakan politik yang berkualitas, mencerdaskan dan mencerahkan. Dalam petualangan tanpa henti ini, kita – seperti dalam film – memendam harap untuk berlabuh di sebuah ‘pulau pencerahan’ (ingat tujuan HMI) yang didongengkan para leluhur kepada kita.


Jika tidak menjadi David yang memotong tangan dan menyingkirkan hegemoni buntut Goliath, paling tidak kita tidak menjadi kaki tangan warisan ‘pejabat’ tempo doloe. Kita harus mampu melepaskan diri dari cengkraman imperialisme Homo Orbaicus. Tidak dengan Kapten Job Separuh pilihan pemirsa. Tidak juga dengan pengetahuan teoritis NDP. Apalagi deal-deal politik yang dibangun atas dasar kesamaan ideologi-citra yang justru mengacaukan makna ideologi menjadi idiot-ologi. Mungkin hanya extra ordinary human capabilities (jangan tanya apa artinya): loyalitas, integritas, progresifitas, kreatifitas dan sifat inofatif seorang David – sang Nabi yang merdeka, bukan lembu dungu yang hidung dan pikirannya dikendalikan – plus pengetahuan teoritis NDP yang mendalam sebagai substansi perjuangan yang akan melepaskan kita dari jeratan kabut tebal mesiu yang ditembakkan pembajak ke bahtera kita. Begitu tebalnya kabut itu sampai kita pun bahkan tak dapat bisa berpikir merdeka.

“Kegilaan telah memenjarakan manusia dalam sifat kebinatangan

…mengembara melampaui setiap fantasi: kekerasaan,

bercak darah, kematian.”


Julia Kristeva

Powers of Horror. An Essay on Abjection,

Dalam Transpolitika, Yasraf A. Piliang, hml. 74.


“Adakah engkau lihat orang-orang

yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya

dan Allah membiarkannya sesat

karena mengetahui kejahatan hatinya”.


Al-quran

Al-quran, surah Al Jaatsiyah, ayat 23.



SEPERTINYA kali ini, kita masih berharap (seperti kali-kali sebelumnya dan mungkin selanjutnya) ada ‘boneka robot baru’ untuk menentukan – tepatnya memenuhi orderan sutradara senior tua yang belum juga “mati” – rute perjalanan intelektual yang melelahkan. Tapi kecemasan menghantui jangan sampai boneka itu lahir bukan dari janin yang dikandung oleh kelompok kita yang katanya lagi hamil tua. Saya khawatir kita sedang mengidap skizoprenia (kegilaan hasrat), menganggap kelompok kita tengah hamil tua. Padahal, boro-boro melahirkan, hamil pun mungkin tidak.


Lihat saja bagaimana kepanikan para pembajak senior itu diumbar. Bukan untuk diketahui tapi untuk menciptakan kepanikan baru ditengah bahtera yang disesaki oleh hiruk-pikuk ‘kegilaan ritual’. Nahkoda dengan panggilan ‘dinda’ pun di obok-obok hingga mabuk dengan bisa (racun) ke-senioritas-an dan duri genggaman kesamaan ideologi (hampir saya menyebut ‘idiot-ologi) yang usang. Anehnya, kedua amunisi karatan itu ternyata masih mampan untuk sekedar merobek jantung si ‘idiot-ologi’ kayak kita. Lainnya yang memilliki sistem kekabalan tubuh (body immune system) menggeliat ingin melepaskan diri dari genggaman Goliath Tengik. Walau tak mabuk tapi genggaman dengan kemasan (packaging) ‘persamaan ideologi’ – yang ternyata duri – itu begitu kuat. Semakin mereka mencoba melepaskan diri semakin dalam duri itu menyobekkan tubuh mereka.


Sadarlah kawan! Sudah begitu lama kita tersekap dalam penjara permainan kita sendiri, entah kita cintai atau tidak. Marilah kita gali lubang dan kabur lalu putuskan mata-rantai hegemoni horor politik warisan senior yang telah bermutasi dan menjangkiti semua orang hingga yang tidak sakit pun tampak sakit.


Bukankah kita sudah terlalu sering menelan pil ‘pahit analgesik’ atas epidemik kekecewaan yang ditorehkan oleh kegagalan di arena ‘makan malam’ KONVERCAB yang kita gelar sendiri? Saatnya kita melakukan detoksifikasi (menjinakkan racun) – saya harap itu anda kawan – untuk menghapuskan budaya politik ke-senioritas-an dan kecanduan ‘drugs’ yang ditularkan kepada kita – generasi muda HMI – yang hampir mengantarkan kita ke liang lahat.


Untuk itu, kita mesti mengambil peran, meskipun figuran tapi kita harus mainkan untuk menentukan apa yang semestinya, sebab film politik yang disuguhkan kepada kita dipenuhi dengan adegan kekerasan yang bakal jadi teror bagi kita dan bagi generasi setelah kita. Mesti ada pembengkokkan politik untuk melepaskan diri dari perbudakkan pemikiran dan menciptakan atmosfir bebas senior. Jika tidak, kita akhirnya hanyalah pion yang bakal jadi tumbal yang akan dipersembahkan di altar ‘drakula’ senioritas yang tenggelam oleh darah ‘pendahulu kita’. Kita menyebut ini sebagai kegilaan ritual.[*]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar